Madrasah Aliyah Al Ma’arif Plus-Siswa Madrasah Aliyah Al Maarif Plus kembali menorehkan prestasi. Kali ini, Maulana Malik Ibrahim, siswa kelas XII, berhasil juarai lomba di tingkat provinsi.
Siswa kelahiran Jakarta itu dinobatkan sebagai juara 2 dalam ajang Tiktok Video Competition yang diselenggarakan Milenial Job Center (MJC) Provinsi Jawa Timur.
“Selamat kepada para pemenang Lomba Tiktok Video Competition dengan tema, ‘Muda, Berdaya, Berkarya’,” demikian bunyi pengumuman pemenang lomba dikutip dari akun Instagram resmi MJC, @mjcjatim, Sabtu (1/1/2022).
Video yang membawa Lana juara itu mengangkat kisah seorang anak pengrajin keris di Sumenep. Di usianya yang masih belia, sang anak sudah mampu menghasilkan keris. Hal ini tak lepas dari didikan orang tuanya yang mengajarkan anak untuk berkontribusi dalam melestarikan budaya leluhur.
Kepala Madrasah Aliyah (MA) Al Maarif Plus Sumenep, K. Bahrudin, M.Pd.I mengapresiasi prestasi santri tersebut. Prestasi ini, kata K. Bahrudin, menunjukkan bahwa MA Al Maarif Plus tidak hanya memberikan penekanan terhadap bidang ilmu keagamaan saja, tetapi juga berusaha menangkap peluang di tengah perubahan zaman yang semakin komplek, maju dan penuh dengan tantangan disrupsi.
“Kami atas nama pribadi dan keluarga besar MA Al Maarif Plus mengucapkan selamat dan apresiasi yang setinggi-tingginya atas pencapaian tersebut. Semoga bisa membangkitkan semangat siswa lainnya untuk melek digital di era disrupsi,” kata K. Bahrudin, Jumat (31/12/2021).
Penggunaan tiktok sebagai media kompetisi, menurut K Bahrudin, bisa dipahami karena tiktok merupakan salah satu platform media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak muda.
“Melalui kompetisi ini saya kira Pemprov Jawa Timur ingin memberikan bobot nilai dan makna terhadap konten-konten sosial media agar lebih mendidik dan berguna bagi kemashlahatan publik, terutama anak-anak muda sebagai user mayoritasnya,” katanya.
Di tengah kemajuan teknologi ini, kata mantan aktivis HMI Jakarta itu, pesantren dan santri menghadapi tantangan yang jauh lebih komplek, yang membuat para pendidik perlu melakukan sesuatu yang baru untuk menjaga pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Menurutnya, sikap apatis terhadap kemajuan teknologi jelas bukanlah sikap yang bijak. Sebaliknya, justru pesantren harus menangkap peluang itu dengan berusaha mensinergikan ilmu keagamaan dengan tantangan era revolusi teknologi.
“Tidak boleh ada pandangan dikotomis antara ilmu keagamaan dan penguasaan teknologi. Sehingga pesantren menjadi satu kekuatan struktur sosial yang terus relevan dan mampu memberikan solusi atas problem kemasyarakatan dan kemodernan,” katanya.
Di era disrupsi ini, lanjut K. Bahrudin, ada pergeseran perilaku masyarakat yang sangat mendasar: dari dunia nyata ke dunia maya. Di dunia maya lah transaksi keuangan, bisnis, dakwah, hiburan, pendidikan, jejaring dan pertemanan dibangun. Dunia, katanya, berubah dengan sangat cepat.
“Kita masih baru kenal mobile internet, sekarang di mana-mana sudah bicara teknologi kecerdasan buatan (artificial Intelligence). Ini tentu besar dampaknya terhadap pesantren. Pesantren tidak lagi cukup hanya mengandalkan aspek korespondensi-tekstual, tradisi menghafal teks-teks keagamaan dan lain-lain, tetapi harus diimbangi dengan dasar-dasar pengetahuan yang fungsional dalam kehidupan masyarakat secara luas,” katanya.
Sehingga, ujar K. Bahrudin, pembelajaran itu mau tidak mau harus dilakukan dengan pendekatan yang holistik dan tertintegrasi, supaya santri mampu mengakses dan memanfaatkan era revolusi teknologi dengan baik.
Apa yang dilakukan santri dalam kompetisi tersebut, lanjut K Bahrudin, berangkat dari sebuah kesadaran bahwa belajar tidak harus di dalam ruang kelas, tetapi dengan cara turun langsung kepada masyarakat, mengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat, ke dalam kegiatan pembelajaran.
“Belajar langsung dari perilaku masyarakat, melakukan riset-riset sederhana terkait problem-problem kemasyarakatan, yang kemudian dituangkan ke dalam kreativitas, untuk kemudian memanfaatkan teknologi sebagai medianya,” katanya.
Secara terpisah, sang juara Maulana Malik Ibrahim, siswa kelas XII MA Al Maarif Plus, bersyukur bisa meraih juara 2 dalam kompetisi tersebut. Menurutnya, keterlibatan santri dalam ajang kompetisi di bidang kreativitas dan tekhnologi adalah satu kebanggaan tersendiri.
“Dulu kan yang istimewa kalau kita bisa ikut kemah dan juara. Salurannya sangat terbatas. Juara kemah di tingkat lokal pun dirayakan besar-besaran. Karena memang saat itu kemah adalah saluran kreativitas santri yang paling mungkin sebelum era sosmed,” kata Lana.
Tapi hari ini, kata Lana, kita sudah semakin terbuka dan tantangannya juga sudah sangat berbeda. Teknologi membuka ruang-ruang kreativitas baru yang jauh lebih beragam. Sehingga pola lama yang cenderung hanya bersifat hura-hura, mengandalkan kreativitas fisik, itu semakin tidak relevan.
“Santri perlu mencoba hal-hal baru yang lebih kekinian,” pungkas siswa yang juga pernah juara lomba videografi di Surakarta itu.
Sekadar info, para juara dalam kompetisi ini dijadwalkan akan bertemu Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Surabaya pada Maret 2022 mendatang.
Alhamdulillah, semoga bermanfaat dan bisa menaikkan semangat siswa yg lain
Alhamdulillah..amin..
Beri Komentar